Tuesday, November 8

Surat Untuk Kencana,Fragmen II

saat senja,entah dilebur mimpi,atau hanya sebatas mengistirahkan nadi,

Kencana,

Selamat pagi,aku tetap berdoa untukmu hari ini

Suatu hari kita bermimpi,

Kau,aku,juga semesta melebur menjadi satu. Menumbuhkan nadi di setiap serat buku,memekarkan kemboja di setiap sekat kamarmu dan saat kita terjaga,matamu,mataku,juga bibir kita saling bersentuh,lantas saling bertanya "Mengapa juga kita harus terbunuh ?",kalau yang kita jaga hanya sebatas tubuh, bukan percikan masing-masing ruh yang kumuh seperti malammalam tak bertuan telah berlalu.

Kencana,

Rindu tidak akan pernah salah mengacap nama,juga tidak akan pernah lupa kepada siapa ia tertuju. Mungkin malam nanti sunyi akan hadir,dan batas rinduku hanya sampai saat purnama menjadi getir. Batas rinduku,hanya sampai saat nafas kita tak lagi bergeming diantara gelasgelas bir. Batas rinduku hanya akan menari sampai jemari kita tidak saling memburu masing-masing bibir. Mungkin malam berikutnya juga,aku akan tahu,batas rindumu hanya sampai kemboja layu dipucuk jemariku,atau saat gelas susuku pecah karena kau luruhkan doa dari setiap alirnya.

(kita sudah terbunuh,di malammalam kemarin Kencana )

Kencana,

Rupa kita tidak lagi seperti Rama dan Shinta dipenghujung akhir cerita,yang aku tahu kini kemarau baru saja tiba,mengeringkan jejakjejak bulir hujan di antara pelupuk semesta dan yang terpenting senja hadir untuk menikam tubuh kita. Ah,kita memang harus mati,meninggalkan rindu, juga tubuh ini. Keretaku sudah terlampau jauh melewati ricauanstasiunstasiun yang kekal,dimana keretamu Kencana ? apakah masih bertolak di stasiun yang tidak pernah sunyi itu ? stasiun dimana kau merindu untuk aku dekap di bangku panjang yang sepi.

(Kencana,suatu hari kita harus berhenti saling mencinta dan kembali jatuh cinta.)

aku harap kabarmu baik pagi ini,

hanya surat ini yang ingin aku bagi

semoga batas rindu kita tidak lagi saling bernyanyi,

dan memecah sunyi dikala laba-laba tak lagi menari,

terima kasih,

Pemuda Senja

(2011,retakan rindu kedua)

Friday, October 28

Fragmen Rindu






Senjaku mati,
semenjak Tuhan telah pergi dari bibirmu,
usaikah sudah kau bertamu?
meninggalkan debu hanya untuk kuluruh menjadi rindu.

Kau datang,
Kemudian berbaring di ranjang
Menyisakan bisu di sela bajuku, dan membiarkan aku merapalnya menjadi buku
Kau datang,
Kemudian berpesta dengan ilalang
Merasakan darah dari nadiku, dan kau candu hingga Tuhan cemburu
Kau datang,
Kemudian duduk di tengah keramaian
Tanpa tahu siapa yang bertamu, bukan doa yang kau ucap,melainkan semu kau letakan dalam gelasku.

Apakah sampai harusku pintal,benang-benang rindu hingga menjadi rupa bibirmu ?
Apakah jejakjejak rinduku,tak bisa membimbingmu menuju pintu rumahku ? Dan wewangi rindu yang kuhirup,tak cukup untuk aku candu ?
Mungkin kau bertamu,tapi lupa membawa rindumu pada rumahku.

Ya,kau hanya lupa kan ?
Seperti dulu,kita lupa dimana kita menatap purnama bersama.

Kau datang,
Kemudian telanjang, siapakah engkau dihadapan aku sekarang ?

Senjaku mati,
semenjak Tuhan telah pergi dari bibirmu,
usaikah sudah kau bertamu? meninggalkan rindu hanya untuk kuluruh menjadi debu


(2011)

Saturday, August 27

Surat Untuk Kencana



" apa yang kurindu ? bukan sebatas menulis puisi dilekuk bibirmu. lebih dari itu."

untuk Kencana,
aku tahu persis,
bagaimana lelahmu melahirkan kupu-kupu
sebagaimana kau tahu persis.
lelahku mengucap rindu.
katamu,
" sunyi tidak pernah ada habisnya mengucap rindu "
dan pintaku satu,
" jangan pernah melepaskan senja yang kukunci dalam bibirmu"

-----------------------------

suatu hari,kita bertemu
diantara kopi dan aroma buku
bibirku lantas bertanya
" aku masih menyimpan kelopak senyummu, yang ranum,gading seperti kemboja

boleh aku simpan kan ? "
kau kembali,dengan senyum yang ranum itu,
ah ingin kugigit,untuk sarapan pagiku.
sial ! aku masih merindumu
seharusnya,dulu,
kita tidak pernah bertolak dari titik dimana senja akan mati.
seharusnya dulu,
aku menemanimu memetik rembulan dipagi hari.
tentu,semesta tak akan pernah melihat seperti yang sekarang ini.
tapi,pluit kereta sudah terlanjur berbunyi,
dan kita bertolak dari stasiun yang tidak pernah sunyi.

ah,Kencana
hanya sebatas rindu yang aku punya untukmu saat ini.
hanya sebatas puisi yang ingin kuberi pagi ini
rasa-rasanya,debupun bisa kupintal menjadi lagu.
jika ini menyangkut rindu akan tubuhmu.
ah,Kencana
apa yang kurindu ? bukan sebatas menulis puisi dilekuk bibirmu. lebih dari itu.
yang kurindu,menempelkan acap doa dalam selimutmu,
yang kurindu,memberi kecupan hangat dipelupuk matamu.
ah,Kencana
keretamu,keretaku
sudah saling menjauh,
dan tak pernah bertemu

terima kasih,
pemuda Senja

( 2011,pagi hari ketika retakan rindu kembali )

Thursday, August 25

Kala Purnama Bercerita


Untuk memoir dan kekasihnya yang setia,

jauh sebelum aku mencinta,
rindumu datang merangkak diantara jengkal bibirku,
kala itu,sempurnalah binar malamku
ini malam pertama,
ketika retak rindu merayap dalam purnama
dan saat doamu mengendap digelas susu,
untuk mengantar mimpi dalam tidurku
aku belum mencinta.
baru senja yang aku indera
kerna ini malam pertama,
jauh sebelum kau datang bercerita


jauh sebelum aku mencinta,
rindumu datang merapal ayatayat semesta
kala itu,sempurnalah sudah rona purnama
ini malam pertama,
saat aroma tubuhmu menari di batas cakrawala
ketika rapalan doa lusuh di bajuku,
menempel kuat membawa aroma tubuhmu
aku akan mencinta.
seperti senja di ufuk cakrawala
mengecup para angin utara
kerna ini malam pertama,
jauh sesudah kau bertamu mesra

jauh sebelum aku mencinta,
rindumu datang merajut duka
genaplah sudah kita bercinta
ini malam pertama,
kalaukalau kafilah senja datang berjumpa
dimana ayat doa kita pecah menjadi iba
saat sunyi menjadi peka.
aku usai mencinta.
saat hujan menapaki kening semesta,
meluruh perlahan tanpa rasa
kerna ini malam pertama,
jauh seusai rindu kita lesap ditelan usia


(2011,retakan pertama diantara ambang purnama)

Meminjam Tubuh Semesta




" Haruskah aku meminjam bibir semesta ? Agar aku bisa mengecupmu usai mengucap rangkaian doa.Agar aku bisa mengunci sepimu sehabis purnama menari dilekuk bibir kita."
Untuknya yang terlelap dibalik kelopak putih purnama"

Sampai kapan aku harus meminjam pelupuk mata senja ?
Agar aku bisa terjaga untuk bercerita sepanjang malam tanpa istirah.
aku bisa menadah air matamu yang manis seperti rona kelopak kemboja.
Sampai kapan aku harus meminjam jemari matahari ?
Agar aku bisa memelukmu erat ketika dingin mengetuk pintu
Agar aku bisa menyentuh lembut nafasmu yang memburu
Kasihku,coba sampaikan.
Jika suatu hari kita bertemu dan berjalan disepanjang ruas-ruas semesta,
Katakanlah !
Dan bagian tubuh semesta mana lagi yang harus kupinjam ?
Ketika mataku tak mampu lagi melihat Tuhan dalam matamu,
Ketika bibirku tak mampu lagi melahirkan kupu-kupu dalam bibirmu,
Ketika tanganku tak mampu lagi menari menemani jemarimu,
Ketika ucapanku tak mampu lagi merindu setiap jengkal katamu.Katakan ?

"Haruskah aku meminjam bibir semesta ? Agar aku bisa bercerita,ketika tak ada lagi lontar yang mampu menguraikan kisahkisah iba."


2011

sang malaikat




Tak ada lagi yang harus kurindu dari setiap jengkal lekuk tubuhnya. Bahkan sejengkal kulitpun tidak. Kini aku hanya berdiam dan menunggu waktu menjemput,mengaratkan kerongkongan ini.

" Lihat dia,begitu elok dan rupawan " samar-samar banyak bibir menunjuk ruang kaca itu.

Bibirku memang menarik perhatian,merahnya merona seperti ufuk jingga. Kulitku yang lembut dan halus bagai salju yang terindah. Juga tubuhku,yang tersusun rapi menarik gairah. Singkatnya aku ini pujaan. Padahal banyak teman-temanku yang lain, yang hampir sama tipikal tubuhnya denganku. Lalu satu lagi, wajahku itu seperti pahatan Tuhan akan malaikat-malaikatNya.

Sudah biasa,aku mendengar ucapan itu dari banyak pasang mata. Semuanya selalu sama. Tidak akan jauh dari "elok" "rupawan" dan "bagus". Semuanya sama.

Entah siapa yang mereka lihat,aku atau kekasihku yang menempel erat di tubuhku. Rasanya itu tak penting,kami selalu menjadi tontonan di ruang kaca ini. Sekalipun ketika kami bergandengan,berciuman,bahkan bersetubuh. Semua mata hanya menyudutkan alisnya, yah tampak seperti biasa.

Bahkan ketika aku ratusan kali berganti kekasih dan bercinta berulang kali dengan kekasih yang berbeda. Tidak ada penghujatan seperti mereka yang dihujat dan dirajam kerna menunjukan auratnya di muka umum.

Oh ya,ku beritahu, aku memang tipikal yang cepat bosan,suka ganti kekasih seenaknya. Tapi bukan juga kemauanku,aku hanya menuruti perintah yang diberikan oleh Kepala Ruang ini. Sebatas mengikuti perintah saja,meski tidak diberi upah,sudah cukup bagiku yang dibatas senja usia. Tapi ada untungnya juga toh,menikmati setiap jengkal tubuh kekasih-kekasih yang menempel di tubuhku. Rasanya itu sangat luar biasa.

Suatu hari,aku mendapat kekasih baru. Kemboja namanya. Tubuhnya lembut,bagaikan sutera terbaik yang pernah dirajut. Belahan dadanya seperti pintu masuk menuju surga terindah yang pernah dibuat. Kami bersama terus setiap hari,sampai akhirnya kami saling mengasihi. Padahal dari awal,hanya sebatas tugas saja kami dipasangkan. Namun siapa yang bisa membutakan mata sang pecinta ? Aku berterima kasih kepada Madam dan Kepala Ruang atas hal ini.

Aku suka Kemboja,dia berbeda dari yang lain. Sentuhannya membuat otot-ototku nyaman. Tak lagi tegang seperti sentuhan kekasih lainnya,yang selalu membuatku tampak kekar dihadapan para penjalan kaki itu. Apalagi jika malam tiba,aku dan Kemboja dapat berpelukan sampai subuh menyapu warna langit yang kelam.

Aku dan Kemboja, tak pernah terpisah. Bahkan berbagi bibir tampak berbicara sambil menunjuk cemburu. Terutama para perempuan.

Hingga suatu hari,semuanya berubah dengan cepat,layaknya pasang-pasang mata yang lalu-lalang dihadapanku. Kasurku yang berbalut sutera,lampu jingga yang menerangi ketika malam tiba. Diambil secara paksa oleh orang-orang berbadan besar.

" Sudah lewat masa sewa " hanya itu yang kudengar ketika wanita dengan asap rokok menyembul dari bibirnya.

" Hutangmu pun belum lunas ! " Nadanya meninggi.

Aku, Kemboja, teman-temanku,juga kekasih-kekasihku hanya melihatnya. Diam dan tak bisa bersuara. Kepala Ruang dan seorang pria yang disebut sebagai " Madam" juga diam membisu.

" Tolong,tapi ini musim terakhir,biar aku lunasi biayanya setelah ini" sahut sang Madam.

" Berapa kali kau bilang seperti itu ? " Balas sang perempuan " aku tidak mau tahu,besok ruangan ini harus kosong dari segala peliharaanmu,barang-barangmu,dan juga tentunya,dirimu "

Aku melihat,seluruh isi ruangan sudah hancur. Kursi kesayangan Madam,juga gelas-gelas anggur berserakan menjadi serpihan kecil di lantai. Perempuan itu menorehkan kemenangan di bibir hitamnya. Lalu berjalan menuju pintu keluar. Tepat setelah kedua pria kekar yang merobohkan isi Ruang kaca itu berkata

" Sudah selesai,Non"

" Ah tunggu,aku mau dia" ketika dia melewati aku dan Kemboja,tangannya menunjuk tegas. " Bolehkan ?" Tanyanya sambil mendelik ke arah Madam. Madam mengangguk.

"Siapa ? Aku ??" Sahutku dalam hati

Dua pria kekar itu segera memisahkan aku dan Kemboja,aku memejamkan mata,tapi tak satu lantaipun aku bergerak. Saat membuka mata,ternyata Kemboja sudah berada digenggaman sang perempuan tersebut. Aku bisa melihat jelas Kemboja berteriak. Aku mau bergerak tapi Madam menghalangiku.

"Ah brengsek" umpatku

Kemboja dalam bahaya,dan lengannya tampak kesakitan digenggam oleh jemari si perempuan itu. Lalu semuanya hilang,dengan cepat. Aku,teman-temanku terdiam,bisu. semuanya berubah seperti membalikan telapak tangan,begitu cepat.

***

" Mas Adjie,mau diapakan manekin-manekin ini ? " Suara pria dengan nada lembut bertanya.

" Biar saja,mungkin kita simpan di gudang rumahku " Balas mas Adjie " tapi manekin yang satu ini akan kubawa,dia selalu sukses menjual karyaku,apalagi pakaian terakhir batik motif Kemboja,meski diambil paksa,yang jelas dia di tangan orang kaya "

2011,Sore di Selatan

Sunday, December 5

Dinding Malam Rumah Kita





kali ini,
aku mengikis langitlangit sunyi dengan sebilah rindu, dan kelak, aku bisa meletakan namamu diantara jejakjejak hujan yang tertinggal di awan

kekasihku,
kitalah sajaksajak tua diantara pucukpucuk kemboja,

dan aku sengaja meletakan doa diantara ranahranah dalam keningmu,

kalaukalau kau lupa jalan pulang
menuju rumah kita
sementara saat ini,

hujan telah mengikis perlahan atap rumah

yang kita buat perlahan dengan doadoa purnama
membawa aroma layu kepada batangbatang kayu tua penyangga dindingdindingnya
lelayu perlahan,
melayu perlahan,

dan kini rapuh
hanya menyisakan puingpuing batu,
kerap aku masih menyimpan serpihan dari dinding itu,

kalaukalau aku juga lupa tetapak untuk pulang nanti
kerap aku masih menyiumi namamu,
yang kau hembuskan ke dalam bibirku

kalaukalau aku masih memandang merah purnama
dari celah jendela rumah kita
dan kini,
aku hanya bisa melihatmu
diantara temboktembok runtuh

merajut dalam sepi juga berbicara dengan bisu

kali ini,
aku mengikis langitlangit sunyi dengan sebilah rindu dan kelak, aku bisa meletakan sepotong malam diantara jejakjejak hujan yang tertinggal di awan

( 2009-2010, Saat senja memecah di Kuta berlanjut ketika hujan mengikis perlahan langit malam )